Jumat, 05 Desember 2008

Berburu Yang Extreme di Pasar Beriman

Kabut tipis masih menyelimuti perjalanan saya pagi itu. Rabu (3/12), saya diantar teman-teman dari kantor di unit daerah menuju ke Pasar “Heboh”. Begitu teman saya menyebut pasar yang satu ini. Saking hebohnya, kata teman saya, si Raja Kuliner Indonesia Bondan Winarno dan William Wongso pernah menjadikan pasar ini sebagai lokasi liputan acara kuliner mereka. Sebutan itu memang layak ditujukan untuk pasar satu ini. Betapa tak heboh, segala macam jenis makanan yang dianggap tak lumrah di tempat lain, ada di tempat yang satu ini.
Suasana Pasar yang sebenarnya bernama Pasar Beriman Tomohon ini sepintas tak beda jauh dengan pasar-pasar lain. Tenda-tenda berwarna-warni cerah menutup gang-gang sempit di antara bangunan gedung yang nampak kurang terawat. Pedagang-pedagang berwajah asia “sekali” nampak sibuk melayani pembeli. Pagi itu suasana pasar cukup ramai. Bisa jadi, karena pasar ini memang bersebelahan langsung dengan Terminal Bus Beriman, Tomohon.
Kenek-kenek, sopir-sopir bus kota beberapa diantaranya menyapa kedatangan kami. Mungkin karena secara fisik kita nampak berbeda dengan penduduk asli Tomohon yang sangat asia alias mirip-mirip warga Tionghoa. Makanya, mereka menganggap kita sebagai turis. Apalagi ada satu orang bule yang menemani perjalanan saya waktu itu.
Memasuki pintu gerbang pasar, kita dihadapkan pada banyaknya sayur dan buah-buahan segar hasil dari petani-petani dari Kota Bunga itu. Dan tentu saja, bunga-bunga segar yang semerbak dan beraneka warna tersedia di sini. Terletak di dataran tinggi berupa pegunungan, Tomohon mampu menghasilkan sayur, bunga, dan buah-buahan dengan kualitas baik. Pun cengkeh dan tembakau pernah menjadi salah satu komoditas andalan kota ini sebelum adanya krisis tembakau yang menyebabkan warga setempat enggan menanam kembali bahan baku rokok itu.
Tapi, pagi hari itu yang saya cari bukanlah sayur, buah, ataupun bunga. Saya ingin petualangan yang lain, yang lebih menantang. Makanya dengan tak sabar saya berusaha mencari komoditas “heboh” yang dijual di pasar tersebut. “Lewat jalan sebelah sana,” ujar teman saya yang sekaligus menjadi pemandu pada hari itu.
Kulit saya langsung berubah menjadi kemerahan, begitu melewati tenda berwarna oranye yang menaungi sepanjang gang sempit itu. Penjual dan pembeli berbaur menjadi satu. Dialog-dialog mereka dalam Bahasa setempat terdengar asing di telinga. “Paniki, Paniki,” teriak salah satu pedagang di sebelah kanan dan kiri saya.
Mata saya langsung tertuju pada sederet onggokan daging binatang lengkap dengan kepala yang menurut saya berwajah menyeramkan. Mata-mata daging binatang seukuran tikus got di Jakarta itu melotot. Semua lidahnya menjulur, mulutnya menganga, dan gigi-gigi runcing nampak mengerikan. Daging itu dalam kondisi terbakar semua, hitam. “Ini Paniki,” jawab si Pedagang ketika saya menananyakan binatang apa yang ada di depan saya itu. “Kami biasa menyebutnya Batman,” tukasnya
Saya takjub, ternyata itulah penampakan paniki yang sangat dikenal di Tomohon itu. Ya, Paniki alias Batman, alias Kelelawar. Paniki memang menjadi salah satu daging favorit warga Tomohon. “Biasanya dimasak dengan kelapa dan bumbu-bumbuan khas Manado. Kami menyebutnya Santan Kering,” tandas teman saya.
Ternyata, rasa takjub saya belum berakhir. Hanya sejengkal dari tempat pedagang Paniki tadi, saya melihat seonggok daging binatang melingkar dan nampak akrab di mata saya. Kulitnya menampakknya pola yang sangat indah. Binatang reptil yang biasa saya lihat di tayangan Discovery Channel itu teronggok di atas meja. Ukuran tubuhnya cukup besar untuk bisa menelan seekor kambing. Untung saja, kali ini saya melihat binatang ini sudah dalam kondisi mati. “Biasanya ada juga ular sawah. Tapi yang piton begini yang paling dicari,” kata si Pedagang. Mereka mengaku mendapatkan pasokan ular itu dari daerah lain. “Yang di sini sudah nggak ada. Kabur semua kali ya, takut dimakan…ha..ha..ha..,” seloroh teman saya.
Wuihhhh….saya kembali menarik napas. Sekitar lima ekor anjing terkurung dalam kerangkeng besi. Beberapa diantaranya melolong, seolah meminta tolong dari siapapun yang lewat. Mata-mata mereka pun nampak kosong, pasrah. Wajar saja, sebab di atas meja yang terletak di sebelahnya, tiga onggok daging gosong yang masih utuh menampakkan bentuk yang tak jauh berbeda dari mereka-mereka yang ada di dalam kerangkeng itu. “RW biasa kami menyebutnya. RW alias rintek wugug (bulu halus, Red),” jelas teman saya. “Yang ini juga enak kalau dibumbu Santan Kering,” jelasnya. Senyum langsung tersungging di bibir saya. Senyum antara heran, jijik, campur geli.
Eits…tapi tunggu dulu. Masih ada yang lain yang tak kalah extreme-nya di Pasar yang buka setiap hari dari Subuh sampai jam 1 siang ini. Kenapa sampai jam 1 ? “Soalnya jam 11 pasti sudah habis,” ujar si Pedagang.
Kali ini, puluhan daging gosong binatang yang sangat familiar buat saya tertata rapi. Mereka ditusuk sedemikian rupa dengan satu batang bambu. Ekor mereka berwarna putih. Dan saya yakin, siapapun yang geli dengan binatang yang satu ini pasti akan bergidik dan menampakkan ekspresi jijik melihatnya. Pun dilakukan teman seperjalanan saya waktu itu. “Ihhhh……,” jerit teman saya, ketika saya mencoba mendekatkan tikus putih yang telah dibakar gosong itu mendekat ke arahnya.
“Ekornya sengaja dibiarkan, supaya kelihatan bahwa ini adalah tikus putih, bukan tikus sawah atau rumah,” jelas teman saya yang katanya juga hobi menyantap hidangan Tikus Saus Manado ini. “Tapi nanti begitu dimasak kita buang ekornya,” tambahnya.
Fuihhhh….perjalanan saya di Pasar Beriman pagi itu cukup membuat saya merasa kenyang. “Apapun yang merayap pasti kami makan, kecuali kereta, itupun karena kereta dari besi. Apapun yang berkaki empat semuanya bisa kami makan, kecuali meja, itupun karena dari kayu,” seloroh teman yang memanduk perjalanan saya. “Ngomong-ngomong, nama Pasar Beriman sebaiknya diganti Pak. Lebih baik jadi Pasar Heboh aja,” tukas teman saya yang lain.

Rabu, 26 November 2008

Damainya Rantau, Aceh Tamiang

Di tulisan sebelumnya, saya lebih banyak bercerita tentang social environment saat Nonton Laskar Pelangi diputar di Rantau, Aceh Tamiang. Kali ini, seperti biasa saya akan berbicara dari sisi wisata dan kulinernya. Bagian yang saya suka setiap melakukan perjalanan ke pelosok tanah air. Dan tentu saja, masalah politik di Aceh yang sebenarnya sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, akan coba saya sentuh sedikit.
Aceh Tamiang. Sebuah negeri di provinsi paling barat dari negeri Indonesia. Kota ini berbatasan langsung dengan Langkat, Sumatera Utara, kota yang pernah mencuat ke media massa karena banjir bandang melanda beberapa waktu silam. Dari Medan ke Rantau, dapat ditempuh lewat jalur darat. Jalanan relatif baik, lagipula hanya butuh waktu tak lebih dari 5 jam untuk mencapai Rantau.
Sepanjang perjalanan dari Medan ke Rantau, kita akan melewati beberapa kota di Sumatera Utara yang mungkin namanya cukup kita kenal. Salah satunya Binjai. Kota yang dikenal dengan buah rambutannya yang manis, dan daging buahnya tak lengket dengan bijinya, sehingga sangat mudah dimakan. Selain itu, kita juga akan melewati perkebunan kelapa sawit yang terbentang luas.
Konon, ketika kondisi Aceh belum sekondusif sekarang, perjalanan dari Medan ke Rantau dianggap berbahaya. Apalagi ketika harus melewati kebun-kebun sawit. Sejarah mencatat, beberapa kali baku tembak terjadi di sejumlah titik Kebun Sawit yang ada di wilayah perbatasan Aceh Tamiang dan Langkat. Dan tentu saja, entah berapa korban jiwa yang telah terenggut akibat konflik di Aceh itu. “Dulu salah satu pimpinan Kodim di sini pernah ditembak mati di dalam mobil,” ungkap driver yang mengantar saya.
Mendengar cerita itu, sedikit merinding juga bulu kuduk ini. Apalagi saat itu matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Suasana gelap pun memenuhi berkilo-kilometer jalanan di tengah lebatnya Kebun Sawit yang kami lalui. Sekilas, terbersit pikiran, bagaimana ya kalau tiba-tiba ada timah panas yang menembus dan melesat di dalam mobil kami ? “Ah…tapi itu kan dulu. Sekarang sudah relatif aman. Paling-paling, yang masih ada penjahat-penjahat dan perampok kendaraan,” kata sopir tadi.
Sambil terus memanjatkan doa agar selamat sampai tujuan, mobil patrol yang kami pakai semakin jauh menembus pekatnya Kebon Sawit itu. Setelah sempat terlelap, saya terjaga dan mendapati mobil sudah berada di jalanan yang cukup benderang dengan temaram lampu-lampu kota. “Ini sudah sampai di Kota Rantau-nya,” ujar si Sopir.
Wah…lumayan ramai juga. Bahkan lebih ramai dari Magetan, kota kelahiran dan tempatku menghabiskan waktu sebelum akhirnya menempuh pendidikan di Solo. “Tapi dulu jam segini sudah tidak ada yang berani keluar Bang. Orang selepas magrib sudah takut,” tutur si sopir.
Ternyata, tak sia-sia MoU Aceh ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki beberapa tahun lalu. Dampak nyata benar-benar nampak di depan mataku. Rantau yang dulu termasuk daerah yang mencekam, kini kembali hidup. Orang-orang berani keluar malam untuk melakukan aktivitasnya. Di kanan kiri jalan, bendera-bendera partai yang sibuk menarik simpati untuk 2009 bertebaran. Mulai dari yang nasionalis, agamis, bahkan partai lokal yang keberadaannya sempat menuai debat sengit di Senayan pun ada.
Saya membayangkan, betapa beratnya masyarakat Rantau termasuk saudara-saudara di Aceh pada masa konflik itu. Toko-toko tak ada yang buka di malam hari. Dan sudah pasti, tak ada kesempatan buat saya dapat menikmati Sop Sekekengkel yang luar biasa nikmat di salah satu warung khas Aceh Tamiang seperti sekarang dengan tenang. “Gimana nih makannya?” celetukku.
Sang pemilik warung mengajariku cara memakan sop khas Rantau yang berisi satu potong tulang besar lengkap dengan daging dan sumsum yang mengepul hangat dari dalam tulang. “Pakai sedotan dulu Bang. Sebelumnya, siram sumsumnya pakai air (kuah),” kata si pemilik warung. Slurrrppppp…sumsum yang hangat dan lembut langsung masuk ke tenggorokan. Teksturnya yang lembut ditambah rasa kuah yang sangat gurih benar-benar menggugah selera.
“Itu, yang empat orang duduk di pojok sana, yang mengamati kita, bekas GAM,” bisik si sopir. Sontak, mataku langsung menatap ke arah pojok warung. Sempat sedikit khawatir. Tapi buru-buru pikiran negatif aku buang. “Sekarang kan sudah damai. Mereka juga saudara-saudara kita. Buat apa musti takut,” timpalku. Aku menyadari, perdamaian itu memang benar-benar membawa kenikmatan yang tiada tara buat kita. Tak ada rasa khawatir, takut, ataupun terancam dan saling curiga.

Minggu, 23 November 2008

Demam Laskar Pelangi di Negeri Pelangi

Mauuuuuuu !!!!! Teriakan itu langsung membahana di lapangan bola Pertamina EP Rantau, setelah crew Miles Production mananyakan apakah para penonton ingin segera nonton Laskar Pelangi. Demam Laskar Pelangi memang semakin merebak di Indonesia. Selain sukses penjualan novel karya Andrea Hirata ini, film dari novel yang sama pun tak kalah suksesnya di pasaran.
Konon, dalam waktu tak kurang dari sebulan, penjualan tiket film besutan Riri Reza ini sudah memecahkan rekor box office nasional. Bahkan, sampai saat saya menulis ini pun, film ini masih bertengger dan diputar di bioskop-bioskop tanah air. Jumlah penontonnya, tentu saja sudah jauh melampaui tiket penjualan di bioskop. Sebab, film ini juga diputar di kampung-kampung laiknya layar tancap, seperti saya alami saat memutarnya di Pertamina EP Rantau.
Perjalanan saya ke Rantau memberi pengalaman yang luar biasa. Bukan sekadar kenangan akan masa kecil saat nonton layar tancap di depan gang rumah. Tapi, lebih dari itu. Dalam perjalanan itu, saya banyak belajar tentang politik, sosial, ekonomi dan tentu saja soal wisata dan kuliner.
Minggu (26/10), saya dan tim dari Miles serta dibantu teman-teman dari Pertamina EP Rantau sudah sibuk memasang layar tancap. Panggung besar kami geser ke tengah lapangan bola untuk tempat proyektor yang ternyata lumayan berat. Saking beratnya, untuk menerbangkan satu set proyektor film, kami harus merogok kocek untuk biaya overbagage yang jauh lebih mahal dari harga tiket pesawatnya sendiri.
Sementara itu, saking sibuknya kami mempersiapkan acara nonton bareng Laskar Pelangi di Rantau, tanpa terasa matahari di negeri Serambi itu semakin geser ke arah barat. Cahaya langit mulai semburat kemerahan. Rasa was-was akan datang hujan di malam pemutaran sempat terbersit di benakku. Apalagi, jauh di langit timur, petir beberapa kali menyambar-nyambar. Sejurus kemudian, gemuruh Guntur terdengar menggelegar. “Fiuh….Ya Allah, mudah-mudahan gak hujan tar malam,” pintaku.
Alhamdulillah, doa terkabul. Selepas azan magrib, langit Rantau masih terlihat cerah. Matahari bundar, hampir sempurna terlihat terang benderang menerangi lapangan bola tempat acara. Anak-anak kecil mulai berdatangan. Mereka berlarian, berkejar-kejaran, dan sesekali jatuh terguling di tanah rerumputan yang mulai berembun dan dingin menyejukkan.
Ah….aku terkenang masa kecil ketika dulu bersama teman-teman berlarian di alun-alun Magetan untuk sekadar nonton layar tancap. Tanpa peduli film apa yang akan diputar. Yang jelas, kami berbondong-bondong lantaran haus akan hiburan. Maklum, Magetan ketika itu adalah kota kecil di Jawa Timur yang bahkan boleh dikata lebih kecil dari kondisi Rantau sekarang.
Dan seperti anak-anak di Rantau malam itu, mungkin mereka juga tak terlalu peduli dengan film yang akan diputar. Yang jelas, mereka bisa keluar malam mingguan, untuk bersenang-senang di luar rumah, sekadar mencari hiburan. Aku tersenyum sambil mengamati tingkah laku mereka. Rasanya, senang sekali bisa mendatangkan layar tancap di daerah yang memang benar-benar butuh hiburan.
Antusiasme warga Rantau dari jam ke jam makin meningkat. Selepas azan isya, ratusan penonton tua, muda, anak-anak, keluarga, mereka yang pacaran, jalan kaki, naik mobil, atau pakai sepeda motor mulai memadati lapangan. Meski jauh dari suasana nyaman, toh mereka tetap semangat menikmati hiburan ala rakyat di tanah lapang. Jadi merasa berdosa ketika saya kadang merasa jengkel atau malah protes saat masuk ke 21 atau megablitz karena terpaksa antri, atau sound-nya bermasalah. Sedangkan anak-anak dan penduduk Rantau ? Ya, mereka sama sekali tak mengeluh dengan dinginnya angin malam. Bahkan, meski harus terpaksa duduk di atas rumput dan ada kemungkinan terkena gatal akibat serangga malam sekalipun.
Film pun diputar. Satu persatu wajah penonton saya amati di bawah temaram cahaya yang memendar dari Laskar Pelangi. Tawa riang mengembang di bibir penonton begitu adegan yang menggelitik terpampang di layar tancap. Dan tak sedikit juga yang menitikkan airmata begitu adegan mengharukan dengan apik dimainkan para pemain Laskar Pelangi.
Tanpa terasa, dua jam lebih film telah diputar. Iringan musik Laskar Pelangi yang dibawakan Nidji mulai mengalun. Disusul kemudian dengan lagu rukun iman. “Rukunnya iman itu, ada enam perkara…….” Penonton pun mulai bubar. Bukan lantaran gerimis tiba, tapi karena film mulai menuju ke detik-detik terakhirnya. Satu persatu penonton beranjak dari duduknya yang nyaman di atas tikar atau rumput lapangan. Beberapa anak kecil sudah terlelap dalam pelukan ibunya.
“Sudah lama kita tidak mendapat hiburan seperti ini Mas. Apalagi sejak perang saudara berkecamuk di Aceh. Apa ada yang berani keluar malam seperti sekarang,” celetuk salah satu orang yang duduk persis di tempat aku meluruskan kaki di atas tanah pasir berkerikil malam itu.

Singapura Vs Negeri Tercinta




Setelah empat kali mampir ke Changi, akhirnya saya punya kesempatan juga untuk benar-benar melongok isi dari negeri Singa. Negeri yang dikenal sebagai negeri keduanya orang Indonesia itu. Julukan itu memang tak salah dialamatkan ke Singapura. Siapapun yang berduit di Indonesia, pasti pernah singgah di negara yang dikenal makmur se-Asia Tenggara ini. Sekadar untuk shopping, menghabiskan duit, atau malah mencoba peluang bisnis dengan berinvestasi di sana. Malam itu, saya menjejakkan kaki untuk kelima kalinya di Changi International Airport. Tak ada yang berubah dibandingkan ketika saya pertama kali menyentuh bandara itu pada tahun 2002 lalu. Karpet berwarna ungu dengan motif sama masih menutup seluruh lantai airport. Bunga-bunga anggrek ungu yang menjadi salah satu icon negerinya Lee Kuan Yew juga bertebaran di mana-mana. Bedanya, ketika 2002 itu saya benar-benar merasa takjub, terpesona, campur bingung musti ke mana. Tapi kali ini sudah tak begitu lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 waktu setempat. Kejadian ini pasti tak akan saya alami kalau Garuda Indonesia bisa on time terbang ke sana. Bukan malah dengan seenaknya menunda-nunda waktu keberangkatan dengan alasan operasional hingga dua jam lebih. Anyway..itulah maskapi penerbangan Indonesia yang selalu telat berangkat.
Gate di Changi airport sudah sepi. Hanya puluhan penumpang dari Garuda Indonesia saja yang terlihat berjalan menyusuri gate di Changi. Saya dan penumpang pesawat harus berjalan menyusuri ban berjalan cukup lama. Seperti biasa, Garuda selalu dapat gate yang paling jauh dari tempat pengambilan bagasi. Tapi saya tak mau ambil pusing. Sambil melalui gate Changi yang sepi, saya berjalan dan berusaha menikmati indahnya anggrek dan warna karpet yang ungu. Benar-benar menyegarkan mata, sama sekali tak nampak suram seperti Bandara kebanggaan kita Soekarno-Hatta di Cengkareng.
Tiba-tiba ketika sampai di Gate 40-an, mata saya dikejutkan pemandangan yang terbilang aneh. Di salah satu gate, nampak puluhan orang-orang sedang tertidur lelap. Beberapa melingkar di atas kursi-kursi tunggu. Dan yang lain, begitu nyenyak melingkar berselimut kain batik di atas karpet. Astaghfirullahalazim. Wajah-wajah mereka menampakkan gurat kelelahan. Jelas sekali mereka adalah saudara-saudara kita dari Indonesia.
Ya, mereka tak lain adalah para pejuang devisa yang tengah menunggu antrian pulang. Mungkin karena pesawat telat atau entah apa. Yang jelas, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Saya hanya bisa mengelus dada menyaksikan mereka yang terpaksa menginap di bandara negeri orang. Saya tak habis pikir, jika saya harus mengalami hal serupa. Pikiran saya langsung melayang, teringat film The Terminal-nya Mas Tom Hanks, di mana dia harus bertahan hidup di bandara selama beberapa minggu. Apakah nasib saudara-saudaraku pada TKI juga harus begitu ?
Sambil terus berpikir, tiba-tiba saya sudah berada di depan pintu keimigrasian. “Qeue please” celetuk petugas dengan aksen khas Malay English. Ups sorry….Ternyata saya masih terbawa kebiasaan di Indonesia, antri tanpa aturan. Saya ternyata telah melewati garis batas antri. Makanya si petugas yang mirip pemeran figuran di film-film Bollywood itu langsung nyolot.
Setelah dicek semua dokumen keimigrasian itu, masuklah saya ke tempat pengambilan bagasi. Tak berapa lama, tas saya sudah muncul. Langsung saya tenteng dan keluar ke tempat taksi, setelah sebelumnya menukarkan beberapa dollar AS dengan dollar Singapura di Money Changer. Sebenarnya saya ingin merasakan naik MRT (Mass Rapid Transportation) alias kereta bawah tanahnya Singapura. Tapi karena waktu sudah terlalu malam, MRT sudah tutup. Terpaksa akhirnya menuju ke tempat taksi.
Seorang sopir taksi menawarkan diri. “50 dollar” katanya. “No argo ?” kataku. Tanpa banyak komentar, si sopir langsung menunjukkan arah di mana tempat taksi yang pakai argo. Ternyata, barusan saya masuk ke tempat taksi yang limousin..he..he..he..Sok tahu, tapi tetap aja keliru. Akhirnya saya kembali tenteng tas dan ransel menuju ke tempat taksi yang pakai argo. Tanpa harus menunggu saya langsung masuk taksi. “To Marine Mandarin Hotel please”. Taksipun melaju dengan kecepatan sedang.
Sambil duduk saya berpikir lagi. Waduh, kalau misalnya saya di Cengkareng, pasti si sopir taksi limousine tadi langsung aja nyuruh saya masuk. Jadi inget pengalaman waktu pulang dari Balikpapan beberapa tahun lalu. Begitu keluar bandara, langsung saya masuk taksi yang baru nurunin penumpang. Ternyata, itu taksi, taksi abal-abal. Langsung lah saya kena palak. Dan si sopir dengan enaknya minta uang bayaran dua kali lipat dari taksi-taksi yang biasa saya pakai ke bandara.
Untung saja, sopir taksi tadi gak seperti di Indonesia, yang banyak abal-abalnya. Bahkan tak sedikit yang berkolaborasi dengan perampok atau pencopet untuk mengerjai penumpang dan menjadikan mangsanya. Akhirnya, dengan taksi berargo, saya turun di Mandarin Hotel dengan bayar 23 dollar. Hemat lima puluh persen jika seandainya harus naik taksi yang limousin.
Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, sudah begitu banyak hal yang saya petik dari negeri tetangga. Ternyata, bangsa kita yang dulu dikenal ramah, kini jauh lebih garang dari penduduk negeri Singa. Bukan hanya sopir taksinya, tapi juga yang lain. Termasuk para calon wakil rakyat yang tak pernah bisa menerima kekalahannya dan memilih untuk mengerahkan massa serta menjadikan mereka sebagai tumbal-tumbal kerakusan kuasa mereka.
Infrastruktur di Bandara Changi benar-benar terawat. Jauh berbeda dengan negeri kita yang sejak kecil sudah dicekoki dengan slogan-slogan dan kata-kata mutiara Bersih Itu Indah, Kebersihan sebagaian daripada iman. Tapi praktinya ? Cengkareng warna temboknya sudah coreng-moreng ,kusam, dan nampak kurang terawat. Sampah plastik, tisu bekas dipakai orang begitu mudah kita temui di kursi-kursi tunggu terminal kedatangan ataupun keberangkatan.
Negeri kita yang dikenal gemah ripah loh jinawi, makmur dan kaya dengan sumber daya alamnya, kini membuat orang-orangnya terlunta-lunta di negeri orang. Rakyat yang kurang pendapatan memilih merantau di negeri tetangga, sekadar menjadi pembantu atau kuli kasar bangunan. Bahkan, harus rela terdampar, tidur tanpa alas dan melingkar berselimutkan kain tipis, persis tuna wisma di bandara negeri orang.

Minggu, 26 Oktober 2008

Wahai Pemuda, Banggalah Berbahasa Indonesia


Hari ini, tepat sehari jelang 28 Oktober, yang menjadi angka keramat bagi para pemuda-pemudi se-Indonesia tepat 80 tahun silam, saya mencoba untuk menulis hal-hal yang sedikit berbau nasionalisme. Kita tahu, bahwa Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra, Jong Bataks Bon, Jong Ambon dan Jong-jong yang lain berkumpul bersama. Mereka bertekad untuk Berbahasa satu Bahasa Indonesia, Bertanah air satu tanah air Indonesia, dan Berbangsa satu Bangsa Indonesi


Ikrar yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda ini benar-benar ampuh. Organisasi kepemudaan yang sebelumnya berjuang secara terpisah-pisah mulai tersadar. Mereka bergandengan tangan dan bersatu padu berjuang memberantas kolonialisme. Berkat ikrar itu pulalah, negeri ini kemudian berhasil beranjak untuk mengentaskan diri dari belenggu penjajahan.

Tentu banyak yang dapat kita petik dari peristiwa sejarah itu. Namun ada satu yang menarik dan menggelitik saya terkait ikrar suci para pemuda ini. Mereka begitu cerdas, berpikiran jauh ke depan, dan memiliki kebanggaan terhadap akar budaya negerinya sendiri. Hal ini tercermin dengan dicantumkannya kata-kata “Berbahasa satu Bahasa Indonesia,”

Sebagai salah satu sarana komunikasi, Bahasa memang memegang peranan penting dalam sejarah. Dan karena bahasa pulalah, sebuah peradaban akhirnya dapat membuat dan menorehkan sejarah. Hal ini yang nampaknya benar-benar disadari oleh pemuda negeri ini di masa itu. Bangsa ini luar biasa besar. Puluhan ribu pulau, ribuan suku bangsa, dan ratusa bahasa asli daerah, tentu berpotensi menjadi bibit-bibit primordialisme yang kuat.

Hebatnya, para pencetus Sumpah Pemuda kala itu menyadari bahwa Bahasa akan menjadi sarana pemersatu yang harus diputuskan dan menjadi komitmen bersama. Masing-masing dari Jong-jong itu mau meninggalkan ego-nya. Jong Ambon, Jong Batak, bahkan Jong Celebes sepakat untuk memakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan negeri ini. Bahasa yang berasal dari rumpun melayu, yang dinilai paling mengakomodir kepentingan banyak pihak di kala itu.

Mereka bukan memilih Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan. Bukan pula memilih Bahasa Jawa, Sunda, atau bahkan Inggris seperti halnya negeri tetangga. Para pemuda ini, begitu bangga untuk memilih bahasa persatuan yang berasal dari negeri sendiri. Namun coba kita tengok nasib Bahasa persatuan ini di saat ini ? Masihkan generasi kita bangga menggunakannya ?
T

engoklah pusat-pusat perbelanjaan di negeri ini. Mereka lebih senang menyerap kata-kata asing dengan alasan modernitas dan sebagainya. Atau coba kita lihat berbagai macam pagelaran akbar yang dilakukan pemerintah ? Mereka lebih banggak menyebutnya dengan Expo (bukan pekan raya), Exhibition (bukan pameran), bahkan tak jarang untuk menyebut hal-hal yang sebenarnya sudah ada dalam kosakata Bahasa Indonesiapun, kita enggan untuk memakainya.


Apalagi dengan fenomena Cinta Laura yang sudah menjadi trend tersendiri di kalangan muda kita.
Bahkan, di acara yang bersifat seremonial di mana ada peluang bagi negeri ini untuk mempromosikan dan mengampanyekan Bahasa Indonesia ke mata dunia pun, para petinggi negeri ini seolah enggan. Setidaknya, itulah yang saya lihat dalam pembukaan Asian Beach Games 1 di Bali beberapa waktu lalu.

Presiden RI kita, yang terhormat Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pun enggan untuk memakai Bahasa Indonesia di depan forum. Bandingkan dengan ketika China membuka pesta olahraga akbar saat Olimpiade lalu. Hu Jin Tau, sang perdana menteri dengan pede, memakai bahasa mereka. Kalau toh banyak tamu asing, kan bisa memakai penerjemah ?

Hal serupa saya alami selama bekerja di perusahaan saya sekarang. Ketika rapat-rapat dengan konsultan dari negeri asing, kita “dipaksa” untuk mengikuti bahasa mereka. Dalam hati saya sering berpikir. Bukankah mereka “dibayar” oleh perusahaan ini, yang notabene milik negeri sendiri ? Tapi, mengapa kita harus mengikuti “bahasa” mereka ?

Padahal, pada suatu kesempatan saya sempat diminta untuk mendampingi bos-bos karena ada tamu dari negeri Jepang. Mereka anggota-anggota parlemen Jepang. Dan dengan bangganya, para tamu dari negeri samurai ini memilih untuk tetap memakai Bahasa mereka sendiri selama dialog. Sedangkan kita? Saya tak yakin, para petinggi negeri ini bisa tampil pede dengan Bahasa Indonesia-nya di saat harus bertemu dengan orang-orang asing. Mereka akan lebih pede jika berbahasa Inggris atau mengikuti bahasa asing orang yang ditemuinya. Mungkin biar dianggap keren dan pinter kali ya ?

Terlepas dari itu semua, masih dari ajang Asian Beach Games (ABG), di saat upacara penutupan saya sedikit tersentak dengan penampilan Wapres kita, Pak Jusuf Kalla. Beliau tanpa canggung naik ke atas podium dan menyampaikan sambutannya dalam Bahasa Indonesia. Wow…..saya surprise sekaligus merasa bangga dengan langkah Pak JK (terlepas saya bukan pendukung ybs)
Beliau nampaknya paham betul, kapan lagi Bahasa persatuan dan kebanggan negeri ini akan didengar oleh bangsa-bangsa dari negeri lain kalau bukan saat kita menjadi tuan rumah seperti hal-nya ABG ini. Dan kapan lagi Bahasa ini bisa semakin mendunia seperti Bahasa China dan Jepang, kalau kita yang memilikinya pun tak pernah pede memakainya di hadapan orang dari negeri lain ?

Jumat, 24 Oktober 2008

Trilogi Religi Bareng Uji Nyali di Kota Semarang


Jika berbicara Semarang, maka yang pasti akan terbersit di benak kita adalah lumpia dan bandeng prestonya. Ya, meski masih ada makanan khas lain yang cukup terkenal, Lumpia dan Bandeng Presto lah yang menjadi andalan dari ibukota Provinsi Jawa Tengah ini. Selain dikenal dengan lumpia dan bandeng, Semarang juga terkenal akan wisata trilogi religinya. Di kota ini, kita dapat sekaligus menelusuri jejak peninggalan tiga agama yang sangat terkenal.
Begitu kita menyusuri pesisir utara Semarang, Gereja Blenduk, berdiri persis di tengah-tengah kompleks kota tua. Tepatnya di Jl. Letjen Suprapto No. 32, Semarang. Kota tua merupakan kota lama yang sempat menjadi pusat kota di zaman penjajahan Belanda. Kini, Kota Tua terus berbenah sedemikian rupa dan tampil sangat cantik. Dengan jalan-jalan yang terbuat dari paving, sepintas kita akan merasakan suasana kota-kota eropa yang banyak sekali memiliki pedestrian serupa saat kita sedang menginjakkan kaki di Kota Tua ini.
Gereja Blenduk konon merupakan gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Meski sudah berdiri sejak 1753, arsitektur gereja yang terkenal dengan atapnya yang mblendhuk (julukan masyarakat lokal yang berarti kubah) masih apik terawat. Kubah besar tersebut dilapisi perunggu dan di dalamnya terdapat sebuah orgel dari zaman Barok. Sampai kini, gereja ini juga masih aktif melayani jamaah setiap hari Minggu.
Bergeser ke arah selatan kota Semarang, kita akan menjumpai situs keagamaan lain yang tak kalah menariknya dengan Gereja Blenduk. Kali ini, sebuah situs berasitektur Tiongkok berdiri megah di Kawasan Simongan, barat daya Semarang. Ialah Kelenteng Sam Po Kong yang pada awalnya merupakan tempat persinggahan dan pendaratan Laksamana Cheng Ho seorang muslim Tiongkok.
Entah bagaimana ceritnya, tempat ini kemudian dianggap sebagai kelenteng dan dijadikan tempat sembahyang orang Indonesia keturunan Tionghoa. Di dalamnya terdapat berbagai macam patung-patung yang menggambarkan kejayaan Cheng Ho di masa itu. Kelenteng ini juga dikenal dengan sebutan Gedung Batu karena bentuknya yang berupa gua batu besar.
Sementara itu, salah satu bangunan religi yang relatif baru dan tak boleh luput dikunjungi ketika kita ke Semarang adalah Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Bangunan yang berada di Jl. Gajah Raya Semarang ini, diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 November 2006.
Pusat kegiatan ibadah, pendidikan, pelayananan masyarakat hingga syiar Islam ini memiliki daya tarik karena luas dan arsitektur khasnya yang memadukan unsure budaya Jawa dan TImur Tengah. Bahkan, tak sedikit yang menganggap masjid ini mirip dengan masjid Nabawi di Madinah yang dikenal dengan payung-payung raksasanya. Sewaktu-waktu, enam payung yang ada di pelataran (plaza) masjid dapat dibuka tutup secara otomatis dan berubah menjadi atap.
Masjid yang mampu menampung 15.000 jamaah ini secara keseluruhan terdiri dari bangunan masjid, plaza masjid, aula pertemuan, graha agung hotel, kompleks perkantoran, perpustakaan, dan menara Asmaul Husna.
Menara Asmaul Husna boleh dibilang salah satu bagian bangunan yang memiliki daya tarik tersendiri. Menara setinggi 99 meter (melambangkan 99 nama-nama baik Allah) ini didesain khusus menyerupai menara Kudus yang tersohor. Jika kita menyempatkan naik ke menara ini, maka kita dapat menyaksikan indahnya pemandangan Semarang dari atas menara.
Jika sudah puas mengunjungi ketiga situs religi tersebut, tak ada salahnya jika kita mencoba menguji nyali dan mendongkrak adrenalin kita dengan memasuki Gedung Lawang Sewu. Bangunan lama ini dipercaya sebagai bangunan angker. Mitos pun banyak berkembang terkait keberadaan bangunan yang berada persis di seberang Tugu Pemuda Semarang ini.
Tak heran, gedung yang dulunya merupakan kantor kereta api di zaman Belanda ini, justru semakin ramai dikunjungi setelah malam hari tiba. Katanya, pengunjung sengaja memilih malam hari agar mendapat suasana lebih seram. “Lagipula, kalau kita beruntung, siapa tahu sewaktu mengambil foto ada penampakan yang muncul,” seloroh pemandu yang mendampingi perjalanan saya waktu itu. Hiiiiiiiiii………..

Menikmati Pesona Venesia van Borneo

Sekilas memang tak ada yang begitu khas ketika kita memasuki Bontang. Suasana kota tak begitu ramai, udaranya juga tergolong lembab dan panas. Tak jauh beda dengan kota-kota besar di Jawa. Paling-paling, kilang PT Badak dan pabrik pupuk Kaltim terlihat mengepulkan asap atau memperlihatkan flare mereka dari kejauhan. Dua perusahaan besar ini, menjadi icon sekaligus simbol Bontang sebagai salah satu kota industri di Kalimantan Timur.
Tak hanya terkenal dengan kota industri-nya, kita juga dapat menemukan lokasi wisata unik yang akan kita temui jika kita berada di Bontang.
Terletak di utara pusat Kota Bontang, sebuah kampung air yang unik ini berdiri kokoh sepanjang kurang lebih 1 km menjorok ke bibir pantai. Meski Bontang Kuala merupakan kampung nelayan, namun tak ada kesan kumuh yang terpancar dari kampung ini. Kampung ini justru tertata rapi.
Rumah penduduk Bontang Kuala berdiri kokoh di atas air, sambung-menyambung hingga menyerupai Kota Air Venesia di Italia. Tentu saja tak mirip-mirip amat. Jika Venesia berdiri di atas bangunan beton yang megah, Bontang Kuala justru tampil sangat original dan tradisional ditopang di atas jembatan kayu ulin hitam yang kuat dan memesona. Beberapa perahu nelayan, juga terlihat hilir mudik di lorong-lorong jembatan, mirip dengan kampung air yang ada di Bangkok, Thailand.
Karena seluruh kampung ini ditopang dengan Kayu Ulin, maka kendaraan roda empat sengaja tak boleh memasuki perkampungan ini. Jadi, siap-siap berjalan kaki jika kita ingin menyusuri kampung penduduk asli Bontang ini.
Ya, dari kampung air inilah, Bontang yang memiliki luas 406.700 km 2 berkembang menjadi kota industri. Meski, sering diklaim sebagai penduduk asli Bontang yang ada di tanah Borneo, mayoritas warga Bontang Kuala adalah suku Bugis, Sulawesi Selatan.
Selain terkenal dengan rumah air dan jembatan Kayu Ulin-nya, Bontang Kuala juga menawarkan pesona wisata khas pinggir laut yang menggoda. Hutan Bakau di sepanjang jalan menuju Bontang Kuala, terlihat hijau, sangat memanjakan mata. Tak seperti hutan bakau biasanya, hutan bakau di Bontang Kuala dilalui jalan lebar yang ditopang dan dibuat dari papan-papan Kayu Ulin. Hampir 300-an meter panjangnya, sebelum kita benar-benar masuk ke Kampung Bontang Kuala.
Di pinggir jalan, terdapat gazebo-gazebo yang disulap menjadi tempat tongkrongan mengasyikkan muda-mudi Bontang menghabiskan malam minggunya. Karena itu, tak ada salahnya jika kita menyebut Hutan Bakau ini menjadi Taman Bakau, karena memang tertata rapi dan sangat menarik.
Berbicara Bontang Kuala, tak akan lengkap rasanya jika tak sempat mencicipi kuliner khas yang ditawarkan. Di ujung kampung Bontang Kuala, puluhan rumah makan penyaji hidangan laut siap menggoyang lidah kita dengan berbagai makanan khas-nya. Salah satunya adalah Sambal Gami. Dengan racikan bawang bakar dan cabai merah yang disajikan di atas “cobek panas,” sambal khas Bontang Kuala ini siap melengkapi berbagai sajian hidangan laut yang ada di Bontang Kuala.
Tak hanya sampai di situ, sambil menikmati hidangan yang menggoda selera, tak ada salahnya, kita mencoba mencari peruntungan dengan memasang kail di bibir pantai Bontang Kuala. Siapa tahu ada Ikan Putih yang akan memakan umpan kita. Tanpa terasa, matahari perlahan tenggelam di balik kilang-kilang Badak dan Pupuk Kaltim yang terlihat jauh di seberang Bontang Kuala.
Pemandangan indah langit Bontang yang berwarna orange cemerlang perlahan pudar seiring datangnya malam. Sungguh pengalaman tak terlupakan dari Venesia-nya Bontang di bumi Kalimantan. (Agustus'08)