Minggu, 26 Oktober 2008

Wahai Pemuda, Banggalah Berbahasa Indonesia


Hari ini, tepat sehari jelang 28 Oktober, yang menjadi angka keramat bagi para pemuda-pemudi se-Indonesia tepat 80 tahun silam, saya mencoba untuk menulis hal-hal yang sedikit berbau nasionalisme. Kita tahu, bahwa Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra, Jong Bataks Bon, Jong Ambon dan Jong-jong yang lain berkumpul bersama. Mereka bertekad untuk Berbahasa satu Bahasa Indonesia, Bertanah air satu tanah air Indonesia, dan Berbangsa satu Bangsa Indonesi


Ikrar yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda ini benar-benar ampuh. Organisasi kepemudaan yang sebelumnya berjuang secara terpisah-pisah mulai tersadar. Mereka bergandengan tangan dan bersatu padu berjuang memberantas kolonialisme. Berkat ikrar itu pulalah, negeri ini kemudian berhasil beranjak untuk mengentaskan diri dari belenggu penjajahan.

Tentu banyak yang dapat kita petik dari peristiwa sejarah itu. Namun ada satu yang menarik dan menggelitik saya terkait ikrar suci para pemuda ini. Mereka begitu cerdas, berpikiran jauh ke depan, dan memiliki kebanggaan terhadap akar budaya negerinya sendiri. Hal ini tercermin dengan dicantumkannya kata-kata “Berbahasa satu Bahasa Indonesia,”

Sebagai salah satu sarana komunikasi, Bahasa memang memegang peranan penting dalam sejarah. Dan karena bahasa pulalah, sebuah peradaban akhirnya dapat membuat dan menorehkan sejarah. Hal ini yang nampaknya benar-benar disadari oleh pemuda negeri ini di masa itu. Bangsa ini luar biasa besar. Puluhan ribu pulau, ribuan suku bangsa, dan ratusa bahasa asli daerah, tentu berpotensi menjadi bibit-bibit primordialisme yang kuat.

Hebatnya, para pencetus Sumpah Pemuda kala itu menyadari bahwa Bahasa akan menjadi sarana pemersatu yang harus diputuskan dan menjadi komitmen bersama. Masing-masing dari Jong-jong itu mau meninggalkan ego-nya. Jong Ambon, Jong Batak, bahkan Jong Celebes sepakat untuk memakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan negeri ini. Bahasa yang berasal dari rumpun melayu, yang dinilai paling mengakomodir kepentingan banyak pihak di kala itu.

Mereka bukan memilih Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan. Bukan pula memilih Bahasa Jawa, Sunda, atau bahkan Inggris seperti halnya negeri tetangga. Para pemuda ini, begitu bangga untuk memilih bahasa persatuan yang berasal dari negeri sendiri. Namun coba kita tengok nasib Bahasa persatuan ini di saat ini ? Masihkan generasi kita bangga menggunakannya ?
T

engoklah pusat-pusat perbelanjaan di negeri ini. Mereka lebih senang menyerap kata-kata asing dengan alasan modernitas dan sebagainya. Atau coba kita lihat berbagai macam pagelaran akbar yang dilakukan pemerintah ? Mereka lebih banggak menyebutnya dengan Expo (bukan pekan raya), Exhibition (bukan pameran), bahkan tak jarang untuk menyebut hal-hal yang sebenarnya sudah ada dalam kosakata Bahasa Indonesiapun, kita enggan untuk memakainya.


Apalagi dengan fenomena Cinta Laura yang sudah menjadi trend tersendiri di kalangan muda kita.
Bahkan, di acara yang bersifat seremonial di mana ada peluang bagi negeri ini untuk mempromosikan dan mengampanyekan Bahasa Indonesia ke mata dunia pun, para petinggi negeri ini seolah enggan. Setidaknya, itulah yang saya lihat dalam pembukaan Asian Beach Games 1 di Bali beberapa waktu lalu.

Presiden RI kita, yang terhormat Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pun enggan untuk memakai Bahasa Indonesia di depan forum. Bandingkan dengan ketika China membuka pesta olahraga akbar saat Olimpiade lalu. Hu Jin Tau, sang perdana menteri dengan pede, memakai bahasa mereka. Kalau toh banyak tamu asing, kan bisa memakai penerjemah ?

Hal serupa saya alami selama bekerja di perusahaan saya sekarang. Ketika rapat-rapat dengan konsultan dari negeri asing, kita “dipaksa” untuk mengikuti bahasa mereka. Dalam hati saya sering berpikir. Bukankah mereka “dibayar” oleh perusahaan ini, yang notabene milik negeri sendiri ? Tapi, mengapa kita harus mengikuti “bahasa” mereka ?

Padahal, pada suatu kesempatan saya sempat diminta untuk mendampingi bos-bos karena ada tamu dari negeri Jepang. Mereka anggota-anggota parlemen Jepang. Dan dengan bangganya, para tamu dari negeri samurai ini memilih untuk tetap memakai Bahasa mereka sendiri selama dialog. Sedangkan kita? Saya tak yakin, para petinggi negeri ini bisa tampil pede dengan Bahasa Indonesia-nya di saat harus bertemu dengan orang-orang asing. Mereka akan lebih pede jika berbahasa Inggris atau mengikuti bahasa asing orang yang ditemuinya. Mungkin biar dianggap keren dan pinter kali ya ?

Terlepas dari itu semua, masih dari ajang Asian Beach Games (ABG), di saat upacara penutupan saya sedikit tersentak dengan penampilan Wapres kita, Pak Jusuf Kalla. Beliau tanpa canggung naik ke atas podium dan menyampaikan sambutannya dalam Bahasa Indonesia. Wow…..saya surprise sekaligus merasa bangga dengan langkah Pak JK (terlepas saya bukan pendukung ybs)
Beliau nampaknya paham betul, kapan lagi Bahasa persatuan dan kebanggan negeri ini akan didengar oleh bangsa-bangsa dari negeri lain kalau bukan saat kita menjadi tuan rumah seperti hal-nya ABG ini. Dan kapan lagi Bahasa ini bisa semakin mendunia seperti Bahasa China dan Jepang, kalau kita yang memilikinya pun tak pernah pede memakainya di hadapan orang dari negeri lain ?

Tidak ada komentar: