Rabu, 26 November 2008

Damainya Rantau, Aceh Tamiang

Di tulisan sebelumnya, saya lebih banyak bercerita tentang social environment saat Nonton Laskar Pelangi diputar di Rantau, Aceh Tamiang. Kali ini, seperti biasa saya akan berbicara dari sisi wisata dan kulinernya. Bagian yang saya suka setiap melakukan perjalanan ke pelosok tanah air. Dan tentu saja, masalah politik di Aceh yang sebenarnya sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, akan coba saya sentuh sedikit.
Aceh Tamiang. Sebuah negeri di provinsi paling barat dari negeri Indonesia. Kota ini berbatasan langsung dengan Langkat, Sumatera Utara, kota yang pernah mencuat ke media massa karena banjir bandang melanda beberapa waktu silam. Dari Medan ke Rantau, dapat ditempuh lewat jalur darat. Jalanan relatif baik, lagipula hanya butuh waktu tak lebih dari 5 jam untuk mencapai Rantau.
Sepanjang perjalanan dari Medan ke Rantau, kita akan melewati beberapa kota di Sumatera Utara yang mungkin namanya cukup kita kenal. Salah satunya Binjai. Kota yang dikenal dengan buah rambutannya yang manis, dan daging buahnya tak lengket dengan bijinya, sehingga sangat mudah dimakan. Selain itu, kita juga akan melewati perkebunan kelapa sawit yang terbentang luas.
Konon, ketika kondisi Aceh belum sekondusif sekarang, perjalanan dari Medan ke Rantau dianggap berbahaya. Apalagi ketika harus melewati kebun-kebun sawit. Sejarah mencatat, beberapa kali baku tembak terjadi di sejumlah titik Kebun Sawit yang ada di wilayah perbatasan Aceh Tamiang dan Langkat. Dan tentu saja, entah berapa korban jiwa yang telah terenggut akibat konflik di Aceh itu. “Dulu salah satu pimpinan Kodim di sini pernah ditembak mati di dalam mobil,” ungkap driver yang mengantar saya.
Mendengar cerita itu, sedikit merinding juga bulu kuduk ini. Apalagi saat itu matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Suasana gelap pun memenuhi berkilo-kilometer jalanan di tengah lebatnya Kebun Sawit yang kami lalui. Sekilas, terbersit pikiran, bagaimana ya kalau tiba-tiba ada timah panas yang menembus dan melesat di dalam mobil kami ? “Ah…tapi itu kan dulu. Sekarang sudah relatif aman. Paling-paling, yang masih ada penjahat-penjahat dan perampok kendaraan,” kata sopir tadi.
Sambil terus memanjatkan doa agar selamat sampai tujuan, mobil patrol yang kami pakai semakin jauh menembus pekatnya Kebon Sawit itu. Setelah sempat terlelap, saya terjaga dan mendapati mobil sudah berada di jalanan yang cukup benderang dengan temaram lampu-lampu kota. “Ini sudah sampai di Kota Rantau-nya,” ujar si Sopir.
Wah…lumayan ramai juga. Bahkan lebih ramai dari Magetan, kota kelahiran dan tempatku menghabiskan waktu sebelum akhirnya menempuh pendidikan di Solo. “Tapi dulu jam segini sudah tidak ada yang berani keluar Bang. Orang selepas magrib sudah takut,” tutur si sopir.
Ternyata, tak sia-sia MoU Aceh ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki beberapa tahun lalu. Dampak nyata benar-benar nampak di depan mataku. Rantau yang dulu termasuk daerah yang mencekam, kini kembali hidup. Orang-orang berani keluar malam untuk melakukan aktivitasnya. Di kanan kiri jalan, bendera-bendera partai yang sibuk menarik simpati untuk 2009 bertebaran. Mulai dari yang nasionalis, agamis, bahkan partai lokal yang keberadaannya sempat menuai debat sengit di Senayan pun ada.
Saya membayangkan, betapa beratnya masyarakat Rantau termasuk saudara-saudara di Aceh pada masa konflik itu. Toko-toko tak ada yang buka di malam hari. Dan sudah pasti, tak ada kesempatan buat saya dapat menikmati Sop Sekekengkel yang luar biasa nikmat di salah satu warung khas Aceh Tamiang seperti sekarang dengan tenang. “Gimana nih makannya?” celetukku.
Sang pemilik warung mengajariku cara memakan sop khas Rantau yang berisi satu potong tulang besar lengkap dengan daging dan sumsum yang mengepul hangat dari dalam tulang. “Pakai sedotan dulu Bang. Sebelumnya, siram sumsumnya pakai air (kuah),” kata si pemilik warung. Slurrrppppp…sumsum yang hangat dan lembut langsung masuk ke tenggorokan. Teksturnya yang lembut ditambah rasa kuah yang sangat gurih benar-benar menggugah selera.
“Itu, yang empat orang duduk di pojok sana, yang mengamati kita, bekas GAM,” bisik si sopir. Sontak, mataku langsung menatap ke arah pojok warung. Sempat sedikit khawatir. Tapi buru-buru pikiran negatif aku buang. “Sekarang kan sudah damai. Mereka juga saudara-saudara kita. Buat apa musti takut,” timpalku. Aku menyadari, perdamaian itu memang benar-benar membawa kenikmatan yang tiada tara buat kita. Tak ada rasa khawatir, takut, ataupun terancam dan saling curiga.

Tidak ada komentar: