Minggu, 23 November 2008

Demam Laskar Pelangi di Negeri Pelangi

Mauuuuuuu !!!!! Teriakan itu langsung membahana di lapangan bola Pertamina EP Rantau, setelah crew Miles Production mananyakan apakah para penonton ingin segera nonton Laskar Pelangi. Demam Laskar Pelangi memang semakin merebak di Indonesia. Selain sukses penjualan novel karya Andrea Hirata ini, film dari novel yang sama pun tak kalah suksesnya di pasaran.
Konon, dalam waktu tak kurang dari sebulan, penjualan tiket film besutan Riri Reza ini sudah memecahkan rekor box office nasional. Bahkan, sampai saat saya menulis ini pun, film ini masih bertengger dan diputar di bioskop-bioskop tanah air. Jumlah penontonnya, tentu saja sudah jauh melampaui tiket penjualan di bioskop. Sebab, film ini juga diputar di kampung-kampung laiknya layar tancap, seperti saya alami saat memutarnya di Pertamina EP Rantau.
Perjalanan saya ke Rantau memberi pengalaman yang luar biasa. Bukan sekadar kenangan akan masa kecil saat nonton layar tancap di depan gang rumah. Tapi, lebih dari itu. Dalam perjalanan itu, saya banyak belajar tentang politik, sosial, ekonomi dan tentu saja soal wisata dan kuliner.
Minggu (26/10), saya dan tim dari Miles serta dibantu teman-teman dari Pertamina EP Rantau sudah sibuk memasang layar tancap. Panggung besar kami geser ke tengah lapangan bola untuk tempat proyektor yang ternyata lumayan berat. Saking beratnya, untuk menerbangkan satu set proyektor film, kami harus merogok kocek untuk biaya overbagage yang jauh lebih mahal dari harga tiket pesawatnya sendiri.
Sementara itu, saking sibuknya kami mempersiapkan acara nonton bareng Laskar Pelangi di Rantau, tanpa terasa matahari di negeri Serambi itu semakin geser ke arah barat. Cahaya langit mulai semburat kemerahan. Rasa was-was akan datang hujan di malam pemutaran sempat terbersit di benakku. Apalagi, jauh di langit timur, petir beberapa kali menyambar-nyambar. Sejurus kemudian, gemuruh Guntur terdengar menggelegar. “Fiuh….Ya Allah, mudah-mudahan gak hujan tar malam,” pintaku.
Alhamdulillah, doa terkabul. Selepas azan magrib, langit Rantau masih terlihat cerah. Matahari bundar, hampir sempurna terlihat terang benderang menerangi lapangan bola tempat acara. Anak-anak kecil mulai berdatangan. Mereka berlarian, berkejar-kejaran, dan sesekali jatuh terguling di tanah rerumputan yang mulai berembun dan dingin menyejukkan.
Ah….aku terkenang masa kecil ketika dulu bersama teman-teman berlarian di alun-alun Magetan untuk sekadar nonton layar tancap. Tanpa peduli film apa yang akan diputar. Yang jelas, kami berbondong-bondong lantaran haus akan hiburan. Maklum, Magetan ketika itu adalah kota kecil di Jawa Timur yang bahkan boleh dikata lebih kecil dari kondisi Rantau sekarang.
Dan seperti anak-anak di Rantau malam itu, mungkin mereka juga tak terlalu peduli dengan film yang akan diputar. Yang jelas, mereka bisa keluar malam mingguan, untuk bersenang-senang di luar rumah, sekadar mencari hiburan. Aku tersenyum sambil mengamati tingkah laku mereka. Rasanya, senang sekali bisa mendatangkan layar tancap di daerah yang memang benar-benar butuh hiburan.
Antusiasme warga Rantau dari jam ke jam makin meningkat. Selepas azan isya, ratusan penonton tua, muda, anak-anak, keluarga, mereka yang pacaran, jalan kaki, naik mobil, atau pakai sepeda motor mulai memadati lapangan. Meski jauh dari suasana nyaman, toh mereka tetap semangat menikmati hiburan ala rakyat di tanah lapang. Jadi merasa berdosa ketika saya kadang merasa jengkel atau malah protes saat masuk ke 21 atau megablitz karena terpaksa antri, atau sound-nya bermasalah. Sedangkan anak-anak dan penduduk Rantau ? Ya, mereka sama sekali tak mengeluh dengan dinginnya angin malam. Bahkan, meski harus terpaksa duduk di atas rumput dan ada kemungkinan terkena gatal akibat serangga malam sekalipun.
Film pun diputar. Satu persatu wajah penonton saya amati di bawah temaram cahaya yang memendar dari Laskar Pelangi. Tawa riang mengembang di bibir penonton begitu adegan yang menggelitik terpampang di layar tancap. Dan tak sedikit juga yang menitikkan airmata begitu adegan mengharukan dengan apik dimainkan para pemain Laskar Pelangi.
Tanpa terasa, dua jam lebih film telah diputar. Iringan musik Laskar Pelangi yang dibawakan Nidji mulai mengalun. Disusul kemudian dengan lagu rukun iman. “Rukunnya iman itu, ada enam perkara…….” Penonton pun mulai bubar. Bukan lantaran gerimis tiba, tapi karena film mulai menuju ke detik-detik terakhirnya. Satu persatu penonton beranjak dari duduknya yang nyaman di atas tikar atau rumput lapangan. Beberapa anak kecil sudah terlelap dalam pelukan ibunya.
“Sudah lama kita tidak mendapat hiburan seperti ini Mas. Apalagi sejak perang saudara berkecamuk di Aceh. Apa ada yang berani keluar malam seperti sekarang,” celetuk salah satu orang yang duduk persis di tempat aku meluruskan kaki di atas tanah pasir berkerikil malam itu.

Tidak ada komentar: