Minggu, 23 November 2008

Singapura Vs Negeri Tercinta




Setelah empat kali mampir ke Changi, akhirnya saya punya kesempatan juga untuk benar-benar melongok isi dari negeri Singa. Negeri yang dikenal sebagai negeri keduanya orang Indonesia itu. Julukan itu memang tak salah dialamatkan ke Singapura. Siapapun yang berduit di Indonesia, pasti pernah singgah di negara yang dikenal makmur se-Asia Tenggara ini. Sekadar untuk shopping, menghabiskan duit, atau malah mencoba peluang bisnis dengan berinvestasi di sana. Malam itu, saya menjejakkan kaki untuk kelima kalinya di Changi International Airport. Tak ada yang berubah dibandingkan ketika saya pertama kali menyentuh bandara itu pada tahun 2002 lalu. Karpet berwarna ungu dengan motif sama masih menutup seluruh lantai airport. Bunga-bunga anggrek ungu yang menjadi salah satu icon negerinya Lee Kuan Yew juga bertebaran di mana-mana. Bedanya, ketika 2002 itu saya benar-benar merasa takjub, terpesona, campur bingung musti ke mana. Tapi kali ini sudah tak begitu lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 waktu setempat. Kejadian ini pasti tak akan saya alami kalau Garuda Indonesia bisa on time terbang ke sana. Bukan malah dengan seenaknya menunda-nunda waktu keberangkatan dengan alasan operasional hingga dua jam lebih. Anyway..itulah maskapi penerbangan Indonesia yang selalu telat berangkat.
Gate di Changi airport sudah sepi. Hanya puluhan penumpang dari Garuda Indonesia saja yang terlihat berjalan menyusuri gate di Changi. Saya dan penumpang pesawat harus berjalan menyusuri ban berjalan cukup lama. Seperti biasa, Garuda selalu dapat gate yang paling jauh dari tempat pengambilan bagasi. Tapi saya tak mau ambil pusing. Sambil melalui gate Changi yang sepi, saya berjalan dan berusaha menikmati indahnya anggrek dan warna karpet yang ungu. Benar-benar menyegarkan mata, sama sekali tak nampak suram seperti Bandara kebanggaan kita Soekarno-Hatta di Cengkareng.
Tiba-tiba ketika sampai di Gate 40-an, mata saya dikejutkan pemandangan yang terbilang aneh. Di salah satu gate, nampak puluhan orang-orang sedang tertidur lelap. Beberapa melingkar di atas kursi-kursi tunggu. Dan yang lain, begitu nyenyak melingkar berselimut kain batik di atas karpet. Astaghfirullahalazim. Wajah-wajah mereka menampakkan gurat kelelahan. Jelas sekali mereka adalah saudara-saudara kita dari Indonesia.
Ya, mereka tak lain adalah para pejuang devisa yang tengah menunggu antrian pulang. Mungkin karena pesawat telat atau entah apa. Yang jelas, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Saya hanya bisa mengelus dada menyaksikan mereka yang terpaksa menginap di bandara negeri orang. Saya tak habis pikir, jika saya harus mengalami hal serupa. Pikiran saya langsung melayang, teringat film The Terminal-nya Mas Tom Hanks, di mana dia harus bertahan hidup di bandara selama beberapa minggu. Apakah nasib saudara-saudaraku pada TKI juga harus begitu ?
Sambil terus berpikir, tiba-tiba saya sudah berada di depan pintu keimigrasian. “Qeue please” celetuk petugas dengan aksen khas Malay English. Ups sorry….Ternyata saya masih terbawa kebiasaan di Indonesia, antri tanpa aturan. Saya ternyata telah melewati garis batas antri. Makanya si petugas yang mirip pemeran figuran di film-film Bollywood itu langsung nyolot.
Setelah dicek semua dokumen keimigrasian itu, masuklah saya ke tempat pengambilan bagasi. Tak berapa lama, tas saya sudah muncul. Langsung saya tenteng dan keluar ke tempat taksi, setelah sebelumnya menukarkan beberapa dollar AS dengan dollar Singapura di Money Changer. Sebenarnya saya ingin merasakan naik MRT (Mass Rapid Transportation) alias kereta bawah tanahnya Singapura. Tapi karena waktu sudah terlalu malam, MRT sudah tutup. Terpaksa akhirnya menuju ke tempat taksi.
Seorang sopir taksi menawarkan diri. “50 dollar” katanya. “No argo ?” kataku. Tanpa banyak komentar, si sopir langsung menunjukkan arah di mana tempat taksi yang pakai argo. Ternyata, barusan saya masuk ke tempat taksi yang limousin..he..he..he..Sok tahu, tapi tetap aja keliru. Akhirnya saya kembali tenteng tas dan ransel menuju ke tempat taksi yang pakai argo. Tanpa harus menunggu saya langsung masuk taksi. “To Marine Mandarin Hotel please”. Taksipun melaju dengan kecepatan sedang.
Sambil duduk saya berpikir lagi. Waduh, kalau misalnya saya di Cengkareng, pasti si sopir taksi limousine tadi langsung aja nyuruh saya masuk. Jadi inget pengalaman waktu pulang dari Balikpapan beberapa tahun lalu. Begitu keluar bandara, langsung saya masuk taksi yang baru nurunin penumpang. Ternyata, itu taksi, taksi abal-abal. Langsung lah saya kena palak. Dan si sopir dengan enaknya minta uang bayaran dua kali lipat dari taksi-taksi yang biasa saya pakai ke bandara.
Untung saja, sopir taksi tadi gak seperti di Indonesia, yang banyak abal-abalnya. Bahkan tak sedikit yang berkolaborasi dengan perampok atau pencopet untuk mengerjai penumpang dan menjadikan mangsanya. Akhirnya, dengan taksi berargo, saya turun di Mandarin Hotel dengan bayar 23 dollar. Hemat lima puluh persen jika seandainya harus naik taksi yang limousin.
Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, sudah begitu banyak hal yang saya petik dari negeri tetangga. Ternyata, bangsa kita yang dulu dikenal ramah, kini jauh lebih garang dari penduduk negeri Singa. Bukan hanya sopir taksinya, tapi juga yang lain. Termasuk para calon wakil rakyat yang tak pernah bisa menerima kekalahannya dan memilih untuk mengerahkan massa serta menjadikan mereka sebagai tumbal-tumbal kerakusan kuasa mereka.
Infrastruktur di Bandara Changi benar-benar terawat. Jauh berbeda dengan negeri kita yang sejak kecil sudah dicekoki dengan slogan-slogan dan kata-kata mutiara Bersih Itu Indah, Kebersihan sebagaian daripada iman. Tapi praktinya ? Cengkareng warna temboknya sudah coreng-moreng ,kusam, dan nampak kurang terawat. Sampah plastik, tisu bekas dipakai orang begitu mudah kita temui di kursi-kursi tunggu terminal kedatangan ataupun keberangkatan.
Negeri kita yang dikenal gemah ripah loh jinawi, makmur dan kaya dengan sumber daya alamnya, kini membuat orang-orangnya terlunta-lunta di negeri orang. Rakyat yang kurang pendapatan memilih merantau di negeri tetangga, sekadar menjadi pembantu atau kuli kasar bangunan. Bahkan, harus rela terdampar, tidur tanpa alas dan melingkar berselimutkan kain tipis, persis tuna wisma di bandara negeri orang.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ada persamaannya lho. Sama - sama negara pencuri.
Yang satu suka nyuri pasir negara lain dan jadi tempat "tidur" yang nyaman buat para pencuri.
Satunya, pada suka saling mencuri sesama :)
Pokoknya segala hal yang berbau nyuri deh.