Jumat, 05 Desember 2008

Berburu Yang Extreme di Pasar Beriman

Kabut tipis masih menyelimuti perjalanan saya pagi itu. Rabu (3/12), saya diantar teman-teman dari kantor di unit daerah menuju ke Pasar “Heboh”. Begitu teman saya menyebut pasar yang satu ini. Saking hebohnya, kata teman saya, si Raja Kuliner Indonesia Bondan Winarno dan William Wongso pernah menjadikan pasar ini sebagai lokasi liputan acara kuliner mereka. Sebutan itu memang layak ditujukan untuk pasar satu ini. Betapa tak heboh, segala macam jenis makanan yang dianggap tak lumrah di tempat lain, ada di tempat yang satu ini.
Suasana Pasar yang sebenarnya bernama Pasar Beriman Tomohon ini sepintas tak beda jauh dengan pasar-pasar lain. Tenda-tenda berwarna-warni cerah menutup gang-gang sempit di antara bangunan gedung yang nampak kurang terawat. Pedagang-pedagang berwajah asia “sekali” nampak sibuk melayani pembeli. Pagi itu suasana pasar cukup ramai. Bisa jadi, karena pasar ini memang bersebelahan langsung dengan Terminal Bus Beriman, Tomohon.
Kenek-kenek, sopir-sopir bus kota beberapa diantaranya menyapa kedatangan kami. Mungkin karena secara fisik kita nampak berbeda dengan penduduk asli Tomohon yang sangat asia alias mirip-mirip warga Tionghoa. Makanya, mereka menganggap kita sebagai turis. Apalagi ada satu orang bule yang menemani perjalanan saya waktu itu.
Memasuki pintu gerbang pasar, kita dihadapkan pada banyaknya sayur dan buah-buahan segar hasil dari petani-petani dari Kota Bunga itu. Dan tentu saja, bunga-bunga segar yang semerbak dan beraneka warna tersedia di sini. Terletak di dataran tinggi berupa pegunungan, Tomohon mampu menghasilkan sayur, bunga, dan buah-buahan dengan kualitas baik. Pun cengkeh dan tembakau pernah menjadi salah satu komoditas andalan kota ini sebelum adanya krisis tembakau yang menyebabkan warga setempat enggan menanam kembali bahan baku rokok itu.
Tapi, pagi hari itu yang saya cari bukanlah sayur, buah, ataupun bunga. Saya ingin petualangan yang lain, yang lebih menantang. Makanya dengan tak sabar saya berusaha mencari komoditas “heboh” yang dijual di pasar tersebut. “Lewat jalan sebelah sana,” ujar teman saya yang sekaligus menjadi pemandu pada hari itu.
Kulit saya langsung berubah menjadi kemerahan, begitu melewati tenda berwarna oranye yang menaungi sepanjang gang sempit itu. Penjual dan pembeli berbaur menjadi satu. Dialog-dialog mereka dalam Bahasa setempat terdengar asing di telinga. “Paniki, Paniki,” teriak salah satu pedagang di sebelah kanan dan kiri saya.
Mata saya langsung tertuju pada sederet onggokan daging binatang lengkap dengan kepala yang menurut saya berwajah menyeramkan. Mata-mata daging binatang seukuran tikus got di Jakarta itu melotot. Semua lidahnya menjulur, mulutnya menganga, dan gigi-gigi runcing nampak mengerikan. Daging itu dalam kondisi terbakar semua, hitam. “Ini Paniki,” jawab si Pedagang ketika saya menananyakan binatang apa yang ada di depan saya itu. “Kami biasa menyebutnya Batman,” tukasnya
Saya takjub, ternyata itulah penampakan paniki yang sangat dikenal di Tomohon itu. Ya, Paniki alias Batman, alias Kelelawar. Paniki memang menjadi salah satu daging favorit warga Tomohon. “Biasanya dimasak dengan kelapa dan bumbu-bumbuan khas Manado. Kami menyebutnya Santan Kering,” tandas teman saya.
Ternyata, rasa takjub saya belum berakhir. Hanya sejengkal dari tempat pedagang Paniki tadi, saya melihat seonggok daging binatang melingkar dan nampak akrab di mata saya. Kulitnya menampakknya pola yang sangat indah. Binatang reptil yang biasa saya lihat di tayangan Discovery Channel itu teronggok di atas meja. Ukuran tubuhnya cukup besar untuk bisa menelan seekor kambing. Untung saja, kali ini saya melihat binatang ini sudah dalam kondisi mati. “Biasanya ada juga ular sawah. Tapi yang piton begini yang paling dicari,” kata si Pedagang. Mereka mengaku mendapatkan pasokan ular itu dari daerah lain. “Yang di sini sudah nggak ada. Kabur semua kali ya, takut dimakan…ha..ha..ha..,” seloroh teman saya.
Wuihhhh….saya kembali menarik napas. Sekitar lima ekor anjing terkurung dalam kerangkeng besi. Beberapa diantaranya melolong, seolah meminta tolong dari siapapun yang lewat. Mata-mata mereka pun nampak kosong, pasrah. Wajar saja, sebab di atas meja yang terletak di sebelahnya, tiga onggok daging gosong yang masih utuh menampakkan bentuk yang tak jauh berbeda dari mereka-mereka yang ada di dalam kerangkeng itu. “RW biasa kami menyebutnya. RW alias rintek wugug (bulu halus, Red),” jelas teman saya. “Yang ini juga enak kalau dibumbu Santan Kering,” jelasnya. Senyum langsung tersungging di bibir saya. Senyum antara heran, jijik, campur geli.
Eits…tapi tunggu dulu. Masih ada yang lain yang tak kalah extreme-nya di Pasar yang buka setiap hari dari Subuh sampai jam 1 siang ini. Kenapa sampai jam 1 ? “Soalnya jam 11 pasti sudah habis,” ujar si Pedagang.
Kali ini, puluhan daging gosong binatang yang sangat familiar buat saya tertata rapi. Mereka ditusuk sedemikian rupa dengan satu batang bambu. Ekor mereka berwarna putih. Dan saya yakin, siapapun yang geli dengan binatang yang satu ini pasti akan bergidik dan menampakkan ekspresi jijik melihatnya. Pun dilakukan teman seperjalanan saya waktu itu. “Ihhhh……,” jerit teman saya, ketika saya mencoba mendekatkan tikus putih yang telah dibakar gosong itu mendekat ke arahnya.
“Ekornya sengaja dibiarkan, supaya kelihatan bahwa ini adalah tikus putih, bukan tikus sawah atau rumah,” jelas teman saya yang katanya juga hobi menyantap hidangan Tikus Saus Manado ini. “Tapi nanti begitu dimasak kita buang ekornya,” tambahnya.
Fuihhhh….perjalanan saya di Pasar Beriman pagi itu cukup membuat saya merasa kenyang. “Apapun yang merayap pasti kami makan, kecuali kereta, itupun karena kereta dari besi. Apapun yang berkaki empat semuanya bisa kami makan, kecuali meja, itupun karena dari kayu,” seloroh teman yang memanduk perjalanan saya. “Ngomong-ngomong, nama Pasar Beriman sebaiknya diganti Pak. Lebih baik jadi Pasar Heboh aja,” tukas teman saya yang lain.

Tidak ada komentar: