Kamis, 19 Februari 2009

Susahnya jadi orang susah ?

Mungkin judul ini bukan sebuah jargon baru. Pagi ini, saya dipaksa berpikir sejenak ketika salah satu presenter TV Lokal di Jakarta menyebut kata ini. Ketika itu, JakTV baru saja menyajikan berita demo buruh di Bogor. Mereka di-PHK perusahaannya, dan entah bagaimana, gaji November-Desember mereka belum dibayar. Apalagi pesangonnya ? “Susah ya jadi orang susah” komentar si presenter.
Dalam berita itu, puluhan buruh mengadu ke Kantor Depnakertrans setempat. Herannya, tak ada satupun aparat yang menemui mereka. Kecuali para polisi dan pamong praja yang terlihat sibuk berjaga-jaga mengamankan para demonstran. Aksi ini relatif santun. Beberapa tulisan di spanduk sempat terbaca. Tuntutan mereka hanya satu. Agar pemerintah menegakkan hukum, menangkap para pengusaha nakal, dan hak-hak mereka sebagai buruh dipenuhi.
Tapi dasar nasib orang susah, siapa juga yang mau peduli. Anggota dewan yang terhormat ? Jangankan mau mengurusi kasus kecil semacam ini. Mereka kan lagi sibuk tebar pesona untuk pemilu nanti. Sibuk menebar janji-janji manis untuk menarik simpati. Giliran rakyat memilih – termasuk para buruh yang demonstrasi seperti ini – mereka pun lupa. Duduk di atas singasana yang nyaman, dan enggan beranjak turun lagi. Akibatnya, nasib kaum marginal seperti ini sebatas angin lalu bagi mereka. Ah…seperti itu biasa.
Lantas, bagaimana nasib para pengusaha nakal itu ? Tak ada yang tahu. Dan mungkin gak ada yang mau peduli, selama dukungan kuat untuk para buruh yang sudah susah itu belum ada. Tapi, namanya orang susah, siapa juga mau dukung. Kalaupun ada, pasti akan dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain yang notabene sekadar untuk kepentingannya pribadi, pun golongan mereka. Susah memang jadi orang susah.
Kesusahan negeri ini juga saya lihat tanpa sengaja saat urus KPR beberapa hari ini. Selepas interview dengan pihak Bank, saya melihat dua pasangan yang sudah cukup berumur menghampiri marketing developer yang saat itu sedang ngobrol dengan saya. “Gimana Pak,” tanya si Marketing sebut saja Ani ke mereka.
Si Bapak tadi, dengan wajah pasrah dan lunglai menjawab. “Kami kelihatannya disuruh nambah 22 juta lagi Mbak,” katanya. “Itu bisa dicicil nggak Mbak ?” timpal sang istri. “Bisa Ibu, tapi artinya nanti Ibu tiap bulannya harus nyicil segini….(sambil menunjukkan hasil hitung-hitungan di kalkulator),” jawab Ani. Melihat angka yang tertera di kalkulator, si Bapak hanya menghela napas. Dan wajah si Ibu tadi terlihat kecewa. Seolah-olah menyiratkan bahwa sangat susah menjadi orang kecil di negeri ini. Susah sekali buat pasangan dengan penghasilan pas-pasan seperti mereka mendapatkan RSSS (Rumah Sangat Sederhana dan Sempit Sekali).
“Mas mau ambil juga ?” tanya mereka ke saya. Saya pun mengangguk. “Di suruh nambah DP berapa Mas ?” tukasnya. “Wah..saya nggak dikasih tahu Ibu,” jawab saya. Mereka berdua pun pergi diiring dua anaknya yang kira-kira sudah duduk di bangku SD. Selepas itu, saya sempat khawatir juga, jangan-jangan, saya harus nambah DP juga sebesar itu. Kalau iya, berarti saya harus batalin niat beli rumah ini. Si Marketing pun mengerti dan mencoba membesarkan hati saja. “Mudah-mudahan nanti gak harus nambah Mas,” timpalnya. Memang susah jadi orang susah.
Tapi coba kita tengok sebentar. Buat mereka yang diberi kelebihan, mudah sekali mendapatkan segala hal di negeri ini. Rumah-rumah elite siap menyambut mereka. Apartemen-apartemen mewah hingga pavilion dan vila-vila megah menjadi keseharian mereka. Tak ada masalah sama sekali untuk mendapatkannya. Aturan di negeri ini juga tak membatasi nafsu mereka untuk memiliki berbagai properti, mobil mewah, barang-barang bermerek, perhiasan dan yang lainnya, sekadar untuk investasi atau meningkatkan pundi-pundi kekayaan mereka.
Sangat kontras dengan nasib Si Bapak dan Ibu tadi. Dengan dua orang anak dan penghasilan pas-pasan, sekadar memenuhi kebutuhan RSSS pun mereka harus buang jauh-jauh. Dan saya yakin, masih jutaan dari negeri ini yang bernasib sama dengan si Bapak dan Ibu ini. Tak ada satupun kebijakan yang dibuat para dewan yang memang sudah lupa dengan janji-janjinya kepada rakyat untuk memudahkan orang-orang seperti ini mampu memenuhi kebutuhan akan papan. Rusunami ? Apartemen subsidi ? KPR subsidi ?
Halah…itu semua hanya sebatas nama. Dengan cicilan rusunami atau apartemen subsidi mencapai 1 jutaan per bulan, bahkan dengan DP yang mencapai belasan bahkan puluhan juta, orang susah seperti Bapak-Ibu tadi, saya yakin tetap tak akan bisa menjangkaunya.
Kalaupun ada, selain mereka yang cukup berada atau paling tidak ada bantuan dari keluarga, hal-hal semacam ini tak akan pernah terbeli oleh orang susah seperti mereka. Dan akibatnya, mereka yang berkuasa, bergelimang harta, dengan jumawa kembali memborong properti-properti untuk memuaskan nafsu duniawi mereka. Rusunami, RSSS, Apartemen subsidi disewakan untuk mereka yang berpenghasilan pas-pasan, dan uangnya kembali memenuhi kantong-kantong kapitalis, penguasa ekonomi, dan mereka yang telah bergelimang harta. Susah memang menjadi orang susah.

Tidak ada komentar: